PGRI PADA MASA DEMOKRASI TERPIMPIN
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Proklamasi
17 Agustus 1945 mempunyai efek sangat besar terhadap seluruh pejuang
kemerdekaan.pendiri Republik ini dan juga para guru pada kurun waktu pasca
tahun 1945.
Semangat
proklamasi itulah yang menjiwai penyelenggaraan Kongres Pendidikan Bangsa pada
tanggal 24-25 November 1945 bertempat di Sekolah Guru Putri (SGP) Surakarta,
Jawa Tengah. Dari kongres itu lahirlah Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI)
yang merupakan wahana persatuan dan kesatuan segenap guru diseluruh Indonesia.
Pendiri PGRI adalah Rh. Koesnan, Amin Singgih, Ali Marsaban, Djajeng Soegianto,
Soemidi Adisasmito, Abdullah Noerbambang, dan Soetono. Mereka serentak bersatu
untuk mengisi kemerdekaan dengan tujuan:
1. Mempertahankan
dan menyempurnakan Republik Indonesia.
2. Mempertinggi
tingkat pendidikan dan pengaajaran sesuai dengan dasar-dasar kerakyatan.
3. Membela hak
dan nasib buruh umumnya, guru pada khususnya.
PGRI lahir sebagai “anak sulung” dari
proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945 yang memiliki sifat dan semangat yang
sama dengan “ ibu kandungnya”,yaitu semangat persatuan dan kesatuan ,pengorbanan
dan kepahlawana tentang penjajah. PGRI merupakan organisasi pelopor dan pejuang
karena itu para pendiri PGRI mengangkat semangat persatuan dan kesatuan,
tujuannya yaitu fungsi anggota PGRI sebagai pendidik bangsa bermaksud
mencerdaskan kehidupan bangsa dan meningkatkan kualitas hidup bangsa Indonesia
dari segi pendidikan.
B.
Rumusan
Masalah
1. Bagaimanakah
lahirnya PGRI Non-Vaksentral/PKI?
2.
Bagaimana pemecatan massal Pejabat Departemen P dan K (1964)
terjadi?
3.
Bagaimana PGRI
Pasca-Peristiwa G30 S/PKI?
4.
Bagaimana usaha PGRI melawan PGRI
Non-Vaksentral/PKI?
C.
Tujuan
1. Mengetahui
bagaimana lahirnya PGRI Non-Vaksentral/PKI.
2. Mengetahui
bagaimana pemecatan missal Pejabat Departemen P dan K (1964).
3. Mengetahui
bagaimana PGRI Pasca Peristiwa G30S/PKI.
BAB II
PEMBAHASAN
PGRI PADA MASA DEMOKRASI TERPIMPIN
Seperti kongres sebelumnya, pada Kongres IX PGRI di
Surabaya bulan Oktober/November 1959, Soebandri dkk. melancarkan politik adu domba diantara para peserta
kongres, terutama pada waktu pemilihan umum. Kali ini pun usaha tersebut tidak
berhasil, dan M.E. Subiadinata terpilih kembali sebagai ketua umum PB PGRI.
Politik adu domba dilanjutkan kembali pada kongres yang ke X di Gelora Bung
Karno, Jakarta 1962. Soebrandri dkk. melancarkan usaha keji dengan mengedarkan
selebaran untuk memfitnah M.E. Subiadinata dengan menyatakan bahwa ia anti manipol dan lain sebagainya. Akibat
surat selebaran ini, maka dilakukan penyelidikan dan penahanan oleh aparat
keamanan terhadap 14 orang penandatanganan “surat fitnah” tersebut. Namun M.E. Subiadinata
dengan jiwa besar berusaha membebaskan mereka untuk pulang ke tempatnya
masing-masing. Terpengaruh oleh suasana selama kongres X berlangsung, akhirnya
di sepakati untuk memasukkan pancasila atau manipol usdek sebagai dasar PGRI.
A. Lahirnya
PGRI Non-Vaksentral/PKI
Periode tahun 1962-1965 merupakan episode yang
sangat pahit bagi PGRI. Dalam masa ini terjadi perpecahan dalam tubuh PGRI yang
lebih hebat dibandingkan dengan pada periode-periode sebelumnya. Penyebab
perpecahan itu pun bukan demi kepentingan guru atau profesi guru secara
keseluruhan, melainkan karena ambisi politik dari luar dengan dalih
“machtsvorming en macthsaanwending” (pembentukan kekuatan dan penggunaan
kekuatan) yang diterapkan melalui berbagai macam organisasi masyarakat. Kubu komunis berhasil menunjuk Soepardi dan
Goldfried “macan” menjadi Ketua dan Wakil Ketua pemilihan PB PGRI. Ternyata
Goldfried termasuk salah seorang penandatanganan “surat fitnah” sehingga timbul
protes dari sidang pleno, sehingga Goldfried dikeluarkan dari panitia dengan demikian
pemilihan ketua umum dan susunan PB PGRI berjalan lancar dengan memilih kembali
M.E. Subiadinata sebagai ketua umum.
Pada
bulan-bulan pertama sesudah kongres X, PGRI menghadapi kesulitan besar terutama
karena kekurangan dana. Bukan karena jumlah iuran anggota yang kecil (Rp 1,50)
melaikan karena pemasukan dana dari Jawa Tengah dan Jawa Timur sangat seret. Iuran dari beberapa cabang yang setia pada
PB PGRI di kedua provinsi tersebut
disabot oleh pengurus daerah yang pro-PKI, meskipun demikian, kegiatan PGRI tetap berjalan dalam
upayanya memperjuangkan nasib para guru.
Masalah
dukungan PGRI terhadap masuknya PSPN (Persatuan Serikat Pekerja Pegawai Negeri)
ke dalam SOKSI yang diputuskan dengan 12 suara pro lawan 2 suara kontra pada
hakekatnya tidak mengubah kekompakan di lingkungan PB PGRI. Hal ini disebabkan
adanya kejelasan pada semua pihak saat itu bahwa dukungan tersebut dengan
sendirinya tidak berlaku lagi jika dua syarat yang diajukan oleh PB PGRI, yakni
“SOKSI bukan merupakan Vaksentral” dan “nama SOKSI harus diganti”, tidak
terpenuhi.
Suasana tegang benar-benar terasa setelah PB PGRI ikut serta
dalam musyawarah penegasan pancasila sebagai dasar pendidikan nasional yang
dilangsungkan pada 17 Juli 1963 di Jakarta. Musyawarah ini diadakan oleh 5
partai politik dengan 40 ormasnya sebagai reaksi terhadap “seminar pendidikan
mengabdi manipol” yang diadakan pada bulan Februari 1963 di Jakarta oleh Lembaga Pendidikan Nasional (LPM) yang dibentuk oleh PKI dan kawan-kawannya. Maka menjadi jelas siapa
yang memihak musyawarah penegasan pancasila sebagai dasar pendidikan nasional
dan siapa yang memihak seminar pendidikan mengabdi manipol. Setelah PGRI ikut
serta dalam musyawarah penegaran pancasila tersebut, maka Moejono dan Ikhwani
mengajukan nota pengunduran diri.
Semua
pengurus cabang dan sebagaian besar anggota PGRI mengetahui bahwa biasanya
rapat PB PGRI diadakan setiap selasa malam. Soebrandri, Moejono, dan Ikhwani
pun tahu betul bahwa pada selasa malam tanggal 9 Juni 1964 itu akan dibicarakan
masalah SOKSI sesuai dengan keputusan rapat PB PGRI sebelumnya. Keputusan PB
PGRI untuk menarik kembali dukungannya terhadap masuknya PSPN ke
dalam SOKSI akan keluar. Oleh sebab itu, dengan
tergopoh-gopoh kelompok Soebandri, Moejono, dan Ikhwani menyelenggarakan rapat
pada hari Minggu tanggal 7 Juni 1964, karena
bila terlambat, meraka tidak mungkin lagi dapat mempergunakan dalih
Non-Vaksentral sebagai senjata propaganda mereka. Sementara itu secara terbuka mereka tidak berani membela “panca cinta”
sebagai isi moral sistem pendidikan pancawardhana. Meskipun demikian, pada
akhirnya terbuka juga maksud tersembunyi mereka.
Pada
malam perkenalan untuk apa yang mereka sebut “PB PGRI Non-Vaksentral”, ternyata
tidak banyak orang yang datang sebagai penggantinya, mereka mengerahkan
murid-murid sekolah yang tidak tahu menahu urusan politik namun acara
perkenalan tersebut dilarang oleh polisi, sehingga dengan cepat panitia
mengubahnya menjadi “malam angklung”. Pada usaha ke dua kali beberapa hari
kemudian, mereka berhasil melakukan acara perkenalan tersebut dengan
menggunakan aula departemen P dan K yang sempit.
Selain
melalui PGRI penyusupan mereka dilakukan pula terhadap aparatur pendidikan,
terutama di lingkungan departemen P dan K, mulai dari yang bertugas dalam
perancangan anggaran pendidikan sampai pelaksanaan pendidikan di lapangan. Hal
ini menyebabkan suasana kerja semakin ruyam.
B.
Pemecatan Massal Pejabat Departemen P dan K (1964)
Pidato inaugurasi
Dr. Busono Wiwoho pada rapat pertama majelis pendidikan nasional (Mapenas)
dalam kedudukanya sebagai salah seorang wakil ketua, menyarankan agar
pancawardhana diisi dengan moral “Panca Cinta”. Sistem pendidikan pancawardhana dilandasi dengan prinsip-prinsip : (1)
perkembangan cinta bangsa dan cinta tanah air, moral
nasional/internasional/keagamaan, (2) perkembangan kecerdasan, (3) perkembangan
emosional-artistik atau rasa keharuan dan keindahan lahir batin, (4)
perkembangan keprigelan atau kerajinan tangan, dan (5) perkembangan jasmani.
Moral Panca Cinta meliputi: (1) cinta nusa dan bangsa, (2) cinta ilmu
pengetahuan, (3) cinta kerja dan rakyat yang bekerja, (4) cinta perdamaian dan
persahabatan antara bangsa-bangsa, (5) cinta orang tua
(suara guru,no. 11/1985).
Isi pidato tersebut
menimbulkan pertentangan dan kegelisahan dikalangan pendidik. Polemik tentang
dasar dan isi moral pendidikan nasional kemudian menjadi perhatian banyak orang
termasuk di lingkungan PGRI, karena dirasakan sangat berkaitan langsung dengan tanggung
jawab setiap orang yang berkecimpung dalam pendidikan. Di
lingkungan Departemen PP & K, polemik itu makin meruncing ketika dalam rapat dinas
tanggal 23 juli 1964 Menteri PP &
K, Dr. Prijono (1957-1966) memancing kembali suasana
polemik tersebut. Akibatnya, pembantu menteri, Tartib Prawirdiharjo, meninggalkan rapat karena dituduh menghianati menterinya.
Keputusan presiden No. 187/1964 dan No. 188 1964 tanggal 4 Agustus 1964 yang diambil atas usul menteri P
& K ( perubahan dari P
& K sejak tahun 1964) tanggal 29 juli 1964 no. 17985/S
tentang reorganisasi departemen P & K yang mengubah jumlah pembantu menteri P&K dari 3
menjadi 2 orang. Hal ini sangat menggelisahkan kebanyakan pejabat di
lingkungan Departemen P
& K, karena dirasakan tidak adanya jaminan hukum/
(rechtzekerheid) bagi pegawai dan karier mereka. Maka sebanyak 28 pegawai
tinggi Departemen P & K (seorang kemudian menarik diri) mengirim surat kepada menteri Prijono dengan maksud untuk menjernihkan kembali suasana di Departemen P
& K. Surat itu ditaggapi dengan memberhentikan ke-27
pejabat tersebut dengan alasan “atas dasar permintaan sendiri”. Nama dan
jabatan ke 27 orang tersebut dikemukakan pada tabel di bawah ini.
No
|
Nama
|
Pangkat
|
Jabatan
|
1
|
Tardib Prawirodiharjo
|
F-VI
|
Pembantu menteri bidang Personil dan Organisasi
|
2
|
Soejono Kromodimulyo
|
F-IV
|
Pegawai tinggi di perbantuan pada biro hubungan luar
negeri
|
3
|
Soeprapto Tjokrowirono
|
F-IV
|
Kepala biro perbelakan PDK
|
4
|
Karim M. Duriat
|
F-V
|
Kabag pembina buku pelajaran
|
5
|
M. E. Subiadinata
|
F-IV
|
Pengawas pendidikan guru
|
6
|
Abdullah zahri
|
F-IV
|
Kepala biro urusan sokongan
|
7
|
Sutojo manguntejo
|
F-IV
|
Kepala biro kesejahteraan pegawai
|
8
|
Sudiro tjokrokusumo
|
F-V
|
Pegawai tinggi, d/p Balai Pustaka
|
9
|
R.M. Sumodijono
|
F-IV
|
Wakil kepala biro urusan sokongan
|
10
|
Slamet I
|
F-V
|
Kadit pend. Dasar dan prasekolah
|
11
|
Slamet II
|
F-IV
|
Inspektorat pend. Dasar/prasekolah
|
12
|
Ir. B. Hoo Kian Lam
|
F-V
|
Pegawai tinggi d/p LAPIP
|
13
|
Soetardjo Purwobroto
|
F-V
|
Direktur yayasan lektur
|
14
|
P. Tirtopramono
|
F-IV
|
Bekas anggota jawatan pend. Umum
|
15
|
Daniel Adnani
|
F-II
|
Pegawai lembaga bahasa asing
|
16
|
A.S. Harahap
|
F-IV
|
Inspektorat pend. Dasar/prasekolah
|
17
|
Brotomuljono
|
F-IV
|
Pengawas smp pada dikmenum
|
18
|
Drs. Tarwotjo
|
F-II
|
Pegawai direktorat dikdas
|
19
|
A.H. Harahap
|
F-IV
|
Staf menteri bidang pendidikan
|
20
|
Ny. D. Titopramono
|
F-IV
|
Pengawas smp pada dikmenum
|
21
|
Ny. Hajatoen Wasito
|
F-VI
|
Kadit pendidikan kejuruan
|
22
|
M.H. Husein
|
F-IV
|
Ka. Inspektorat kewajiban belajar
|
23
|
Anisah Bekti
|
F-IV
|
Pegawai lembaga bahasa asing
|
24
|
N. Kartini Prawirotenojo
|
F-IV
|
Kaur pada dit. Pendidikan kejuruan
|
25
|
Seobekti Dhirdjoseputro
|
F-III
|
Pegawai lembaga bahasa asing
|
26
|
Drs. Hamami Saaman
|
F-IV
|
Ka. Lemb. Penyelidikan & penelitian
|
27
|
R.H.M. Hidajat
|
F-IV
|
Kepala biro pendidikan asing
|
Tindakan meteri P & K menimbulkan heboh di seluruh tanah air. Berbagai
ormas dan beberapa perwakilan dari dinas
P & K memprotes keras pemberhentian tersebut. Sebaliknya, serikat
pekerja pendidikan dan apa yang di namakan PGRI Non-Vaksentral yang pro PKI menyokong
pemberhentian tersebut. Posisi Prijono malah semakin kuat. Dalam reshuffle kabinet pada
Agustus 1964, presiden soekarno mengangkat Prof. Prijono selaku menko P & K
dan Ny. Artati Marzuki Sudirjo sebagai menteri PD & K. Kemudian “kelompok
27” yang telah diberhentikan itu segera mengirimkan kawat pada menteri PD &
K yang baru dengan menyatakan kesediaannya untuk membantu. Akan tetapi kawat
tersebut tidak mendapat tanggapan dengan alasan permasalahannya sudah berada di
tangan presiden. Kemudian, 24 dari 27 orang pejabat tinggi tersebut ditampung
oleh markas besar TNI Angkatan Darat dan nasibnya diurus oleh Letnal Kolonel
Amir Murtono, S.H. (kelak menjadi ketua umum Golkar). Tiga orang pejabat
lainnya diangkat oleh menteri dalam negeri: dua orang sebagai pembantu khusus
menteri dan seorang lagi sebagai ketua PMI Pusat.
Karena heboh mengenai pemecatan 27 orang pejabat berkenaan dengan isi moral
pendidikan pancawardhana, akhirnya presiden membentuk sendiri panitia dengan
nama “panitia negara penyempurnaan sistem pendidikan pancawardhana”. Panitia
ini diberi tugas untuk menyampaikan pertimbangan tentang “pemecatan massal”
tersebut. Oleh panitia negara, ke-27 orang tersebut dinyatakan tidak bersalah.
Namun demikian, untuk menyelamatkan muka menteri P & K, sebanyak 13 orang diperbolehkan bekerja
kembali di departemen P & K, sedangkan yang lain tetap di tampung oleh
Mabes TNI-AD dan Depdagri. Akhirnya pada bulan Agustus 1966, mereka di
rehabilitasi dan dikembalikan lagi ke departemen P & K oleh pemerintahan
Orde Baru. Panitia negara juga menyerankan penyempurnaan konsep sistem
pendidikan pancawardhana.
C.
PGRI Pasca-Peristiwa G30 S/PKI
Periode tahun 1966-1972 merupakan
masa perjuangan untuk turut menegakka Orde Baru, penataan kembali organisasi,
menyesuaikan misi organisasi secara tegas dan tepat dalam pola pembangunan
nasional yang baru memerlukan pemimpin yang memiliki dedikasi yang tinggi,
kemampuan manajerial yang mantap, dan pengalaman yang mendukang. Dipenuhi
dengan jalan kaderisasi yang tinggi dan terus menerus. Dalam kehidupan PGRI,
sudah lazim pimpinan-pimpinan organisasi
di setiap eselon dibentuk melalui “praktek” di lapangan dengan ditunjang
oleh dasar-dasar pengetahuan kepemimpinan dalam ruang lingkup ilmu pendidikan
sebagai modal utama. Pelaksanaan kaderisasi yang dimulai pada tahun 1957 di
Jakarta dilanjutkan kembali mulai Juli 1973 di Bandung, Yogyakarta, dan
Pandaan, Jawa Timur.
Kegiatan dan perjuangan
PGRI dalam bidang pendidikan semenjak kongres VII PGRI tahun 1956 di Bandung
mulai dibina kembali. Suatu hal yang penting dicatat di sini adalah PGRI tidak
mau menyebut dirinya sebagai “serikat buruh”. Hal ini disebabkan jabatan guru
secara hakiki berbeda dan tidak biasa disamakan dengan jabatan buruh murni.
Namun demikian, sejak awal kelahiran PGRI melaksanakan kerjanya dengan berbagai
organisasi buruh. Pendirian dasarnya adalah semestinya para buruh itu bersatu
berdasarkan jenis lapangan pekerjaannya berjuang untuk kepentingan buruh-buruh
itu sendiri, bukan untuk kepentingan politik. Identitas PGRI sendiri bersifat
unitaristik, independen dan non-politik. Akan tetapi kenyataan membuktikan
bahwa ada masanya, terutama pada zaman orde lama, bukan persatuan yang
terjalin, melainkan sebaliknya yaitu adanya vak-vak sentral yang merupakan
mental partai politik.
Mengenai kedudukan PGRI
sendiri, sejak kongres VII di semarang tahun 1954 ditegaskan bahwa PGRI adalah
organisasi non-vaksental yang kemudian dipakai kembali oleh PKI dengan arti
yang dimanipulasi ketika mendirikan PGRI non-Vaksentral tahun 1964 yang yang
dibedakan dengan PGRI kongres. PGRI mencoba untuk turun memprakarsai dan
menghimpun organisasi-organisasi pegawi negeri dalam bentuk rapat kerja sama (RKS). Kemudian PGRI ke luar
setelah lembaga itu dimasuki dan dikuasai oleh PKI. Selanjutnya PGRI
memprakarsai pendirian PSPN (Persatuan Serikat Sekerja Pegawai Negeri) yang
ketua umumnya langsung dijabat M.E. Subiadinata (ketua umum PB PGRI). Terakhir,
pada tahun 1967, PGRI memprakarsai berdirinya MPBI (Majelis Permusyawaratan
Buruh Indonsia). Sebagai pengembang dari MPBI lahirlah FBSI (Federasi Buruh
Indonesia).
Kelahiran FBI ini
disambut gembira oleh para buruh, karena mereka mendapat tempat dan bentuk
organisasinya yang jelas dan tegas untuk memperjuangkan nasibnya. Dalam
perkembangannya PGRI tidak mempunyai tempat di federasi tersebut, karena
perdebatan yang mendasar, diantaranya:
1. FBSI
beranggotakan unsur buruh murni, sedang jabatan guru tidak dapat digolongkan
sebagai buruh murni.
2. Anggota
FBSI harus buruh swasta, sedangkan anggota PGRI adalah guru-guru sekolah
negeri/swasta .
3. FBSI berprinsip “tradeuni unionnisme,
sedangkan PGRI berprinsip “professional”
4. FBSI
berada di bawah Pembinaan Departemen Tenaga Kerja, sedangkan PGRI berada di bawah pembinaan P dan K.
Sebelum era orde baru, Indonesia pernah
melalui dua model demokrasi yang berbeda, yaitu Demokrasi Liberal (1950-1959)
dan Demokrasi Terpimpin (1959-1965). Ternyata kedua model demokrasi tersebut
tidak cocok dan malah merugikan kehidupan bangsa. Menjelang pertengahan tahun
1950-an ada indikasi yang kuat bahwa partai-partai politik berusaha membangun
kekuatanya memenangkan pemilu tahun 1955. Hal ini ditandai dengan berkembangnya
aneka ragam organisasi masa dengan berbagai macam bentuk, sifat, dan jenisnya;
bahkan organisasi-organisasi pelajar pun sengaja dibentuk dengan berafiliasi
kepada organisasi partai politik tertentu. Sebagai contoh, di lingkungan dunia
pendidikan dikenal adanya ikatan Guru Marheanis, PERGUNU (Persatuan Guru NU),
Ikatan Guru Muhamadiyah, PERGUKRI (Persatuan Guru Kristen Indonesia), IGK
(Ikatan Guru Katolik), PGII( Persatuan Guru Islam Indonesia), Persatuan Guru
PERTI, dan sebagainya. Organisasi-organisasi tersebut lebih banyak berkiprah
dalam pembinaan ideologi golongannya daripada menangani masalah-masalah profesi
keguruan. Adanya berbagai macam ikatan organisasi itu secara praktis tidak
menimbulkan pengaruh yang berarti dan juga tidak meningkatkan profesionalitas
guru. Dapat dikataka bahwa PGRI itulah yang sejak berdirinya secara konsisten
memperjuangkan untuk memperbaiki nasib guru serta memfasilitasi peningkatan
profesionalitasnya.
Perjalanan PGRI dipengaruhi oleh
berbagai kepentingan golongan politik dari luar. Berbagai organisasi politik
berusaha untuk memanfaatkan pelebaran pengaruh PGRI untuk kepentingan
politiknya. Mereka menganggap bahwa hal ini lebih praktis daripada harus susah
payah membangun organisasi sendiri dari awal. PGRI menjadi rebutan berbagai
partai politik besar pada waktu itu, dengan menggunakan anggota-anggotanya yang
duduk dalam kepengurusan PGRI. Dalam setiap kongres, terutama saat pemilihan
pimpinan PB PGRI, banyak partai politik ikut campur. Hal ini memang tidak dapat
dihindarkan dan sangat menyulitkan kedudukan PGRI.
Benar bahwa identitas PGRI adalah
unitaristik, independen, dan non-partai politik. Namun sejak PGRI berdiri,
bahkan hingga sekarang, tidak mungkin dibuat larangan kepada siapapun untuk
menjadi anggota suatu partai politik. Kebanyakan anggota PGRI sendiri adalah
guru-guru yang menjadi anggota, paling tidak simpatisan, berbagai macam partai
politik. Sesungguhnya, prinsip unitaristik, independen dan non-partai politik
dimaksudkan agar PGRI secara lebih terarah dapat memusatkan usahanya pada
kegiatan-kegiatan yang secara langsung menunjang perbaikan pendidikan nasional
pada umumnya dan nasib guru pada khususnya. Namun prinsip-prinsip tersebut dalam kenyataannya
sulit dilaksanakan sepenuhnya, sehingga adanya perpecahan dalam tubuh PGRI pada
masa-masa tertentu sangat mudah dimengerti. Kelak, pada masa Orde Baru, PGRI
berusaha untuk mengemban misi sebagai suatu organisasi professional guru
Indonesia, terlepas dari adanya “amanat-amanat sisipan”.
D. Usaha PGRI Melawan PGRI
Non-Vaksentral/PKI
Dekrit Presiden tanggal 5 juli 1959 yang
kemudian disusul dengan Pidato Kenegaraan Presiden Soekarno Pada Tanggal 17
Agustus 1959 merupakan kebijakan yang diterima dengan penuh penghargaan dan
harapan oleh segenap bangsa Indonesia yang telah lama mengalami penderitaan
sebagai akibat dari kebijaksanan politik. Akan tetapi sungguh dalam prakteknya
dekrit tersebut salah arah, sehingga tercipta pemerintahan diktator. Situasi
masyarakat benar-benar berbeda. Segenap kegiatan masyarakat, termasuk
kebijaksanaan pemerintah, didasari keyakinan bahwa “politik adalah panglima”.
Jurang perpecahan dalam masyarakat makin menganga. Orang-orang dipaksa untuk
dapat “menarik garis yang tegas tentang siapa kawan dan siapa lawan”, dan
persaingan antar kelompok dan antar individu dalam masyarakat terjadi dengan
cara yang berlebihan. Orang-orang yang berbeda pendapat, apa lagi bila dianggap
bertentangan dengan pandangan pemerintah, dengan mudah dituduh “Kontrev” (kontra-revolusioner),
anti-manipol, agen supversi asing dan sebagainya. Setiap orang berusaha untuk
tidak sampai terkena atau mendapat julukan
yang mematikan tersebut.
Politik nasakom
(Nationalis-agama-komunis) dibangun berlandaskan bentuk persatuan semu, yang
oleh PKI dijadikan sarana untuk memperkuat generasi politiknya. Lembaga apapun
diusahakan untuk dinasakom-kan. Pemerintahan dipusatkan pada satu tangan yaitu
bung Karno sebagai presiden atau panglima tertinggi ABRI atau Manda Taris MPR
dengan macam-macam gelar agung lainnya. Semua orang, lembaga, atau bahkan
perguruan tinggi seakan-akan latah bersaing untuk mempersembahkan gelar agung
kepada pemimpinnya. Disegi lain, untuk menghancurkan wibawa pemerintah mulai
dari akarnya, PKI melontarkan isu adanya “setan desa”, “kapitalis birokrat”,
Nekolin (neo kolonialisme), dan sebagainya. Setelah terjadinya tragedi nasional
G30SPKI barulah bangsa Indonesia menyadari bahwa semua itu merupakan perangkap
PKI untuk mempercepat usahanya merebut kekuasaan.
Seperti halnya organisasi-organisasi
lain yang sejenis, PGRI tidak luput dari ancaman tersebut. Pada kongres IX PGRI
di surabaya (Oktober 1959), infiltrasi PKI kedalam tubuh PGRI benar-benar
terasa dan lebih jelas lagi dalam kongres X di Jakarta (November 1962). Kiranya
prinsip “siapa kawan siapa lawan” berlaku pula dalam tubuh PGRI. “kawan” adalah
semua golongan Pancasilais anti-PKI yang dalam pendidikan berusaha mengamankan
pancasila, dan “Lawan” adalalah PKI yang berusaha memaksakan pendidikan “Panca
Cina” dan “Panca Tinggi”. Akan tetapi kekuatan golongan pancasilais di PGRI
masih lebih kuat dan mampu bertahan menghadapi tantangan-tangan tersebut.
Setelah PKI yang diwakili oleh guru-uru
berorientasi ideologi komunis tak mampu lagi melakukan taktik-taktik penyusupan
terhadap PGRI, mereka mengubah siasat dengan melakukan usaha terang-terangan
dengan memisahkan diri dari PGRI. Seperti dikemukakan sebelumnya, mereka
membentuk organiasi yang menyebut dirinya PGRI Non-Vaksentral (PGRI NV). Pada
bulan juni 1964. PGRI NV dibentuk dimana-mana, kadang-kadang ditempat-tempat
tertentu hanya ada di atas kertas sementara anggota-anggotanya pun
kadang-kadang bukan guru, melainkan pegawai Jawatan Kereta Api, buruh
perkebunan atau yang lainya.
Pergolakan bebas yang ditimbulkan oleh
munculnya PGRI NV terasa benar di daerah, terutama di Jawa Timur dan Jawa Tengah.
Hal ini tergantung pada sedikit-banyaknya guru yang menjadi anggota PKI atau
simpatisan. Situasi makin bertambah genting setelah Menteri P & K Prof. Dr.
Prijono memecat 27 orang pejabat tinggi di Departemen P & K tahun 1964 yang
justru orang –orang yang anti PKI, seperti telah diuraikan terdahulu.
Untuk menyelamatkan pendidikan dari
ancaman dan perpecahan dari kalangan guru, presiden soekarno turun tangan
dengan membentuk majelis pendidikan nasional yang menerbitkan Penpres
(Penetapan Presiden) No. 19 tahun1965 tentang pokok-pokok Sistem Pendidikan
Nasional Pancasila sebagai hasil kerja dari Panitia Negara untuk Penyempurnaan
Sistem Pendidikan Pancawardhana. Dengan turun tanganya pemerintah, memang
ketegangan sedikit berkurang. Akan tetpi, bagi PGRI, Penpres tersebut tidak
berhasil mempersatukan kembali organisasi, karena perpecahan yang terjadi dalam
organisai itu berakar pada landasan ideologi yang sangat prinsipil. Sungguh
perpecahan terseut merupkan peristiwa yang sangat pahit bagi PGRI.
BAB
III
PENUTUP
A.
KESIMPULAN
Periode tahun 1962-1965 merupakan
episode yang sangat pahit bagi PGRI. Dalam masa ini terjadi perpecahan dalam
tubuh PGRI yang lebih hebat dibandingkan dengan pada periode sebelumnya.
Penyebab perpecahan itu bukan demi kepentingan guru atau peropesi guru,
melainkan karena ambisi politik dari luar dengan dalih ”machsovorming en
machsaanwending” (pembentukan kekuatan dan panggunaan kekuatan).
Pidato inaugurasi Dr. Busono Wiwoho
pada rapat pertama Majelis Pendidikan Nasional (Mapenas) dalam kependudukannya
sebagai salah seorang wakil ketua, menyarankan agar PancawarDhana diisi dengan
moral “panca cinta”. Isi pidato tersebut menimbulkan
pertentangan dan kegelisahan dikalangan pendidik. Keputusan Presiden tanggal 4
agustus 1964 yang diambil atas usul Menteri P & K tentang Reorganisasi
Departemen P & K yang mengubah jumlah Pembantu Menteri P & K dari 3
menjadi 2 orang. Maka sebanyak 28 pegawai tinggi Departemen P & K mengirim
surat kepada Menteri Prijono dengan maksud untuk menjernihkan kebali suasana P
& K. Surat itu ditanggapi dengan memberhentikan ke-27 pejabat tersebut
dengan alasan “atas dasar permintaan sendiri”. Berbagai ormas dan beberapa
wakil dari Dinas P & K memprotes keras pemberhentian tersebut.
Bagi PGRI, periode
tahun 1966-1972 merupakan masa perjuangan untuk turut menegakkan Orde Baru,
masa konsolidasi dan penataan kembali organisasi serta masa meneruskan dan
menyesuaikan misi organisasi secara tegas dan tepat dalam pola pembangunan
nasional yang baru. Kegiatan dan perjuangan PGRI dalam bidang pendidikan
semenjak Kongres VIII PGRI tahun 1956 di Bandung mulai dibina kembali.
Identitas PGRI sendiri bersifat unitaristik, independen, dan non-partai
politik. Mengenai kedudukan PGRI sendiri sejak Kongres VII ditegaskan bahwa
PGRI adalah organisasi non-vaksentral
Setelah PKI yang
diwakili oleh guru-guru berorientasi ideologi komunis tak mampu lagi melakukan
taktik–taktik penyusupan terhadap PGRI, mereka mengubah siasat dengan melakukan
usaha terang-terangan untuk memisahkan diri dari PGRI. Mereka kemudian menyebut
dirinya PGRI Non-Vaksentral (PGRI NV).
Pergolakan hebat yang
ditimbulkan oleh munculnya PGRI NV terasa benar di daerah. Untuk menyelamatkan
pendidikan dari berbagai ancaman dan perpecahan dikalangan guru, Presiden
Soekarno turun tangan dengan membentuk Majelis Pendidikan Nasional yang
menerbitkan Penpres (Penetapan Presiden) No. 19 tahun 1965 tentang Pokok –
pokok Sistem Pendidikan Nasional Pancasila sebagai hasil kerja dari Panitia
Negara untuk Penyempurnaan Sistem Pendidikan Pancawardhana. Tetapi bagi PGRI
penpres tersebut tidak berhasil mempersatukan kembali organisasi ini.
B.
SARAN
Penting
bagi para pembaca untuk mengetahui sejarah perjuangan guru, karena itu kita
dapat merasakan apa yang telah diperjuangkan para guru terdahulu dalam
organisasi PGRI. Seperti halnya kesejahteraan para guru sekarang ini, yang
dulunya merupakan usulan-usulan PGRI yang disetujui oleh pemerintah. Sungguh
besar jasa guru yang kita rasakan dari dulu sampai sekarang.
DAFTAR PUSTAKA
M. Rusli Yunus dkk. 2003. PERJALANAN
PGRI (1945-2003). Semarang : Departemen Pendidikan Nasional
Komentar
Posting Komentar